Bukan Fokus Masalahnya, Kita….

Kemudahan untuk mengakses informasi juga diikuti dengan mudahnya akses transportasi khususnya di kota-kota besar.

Aku berbicara tentang Jakarta. Karena memang di sinilah rejekiku berada. Di sinilah aku mengumpulkan Pundi-pundi dan mimpiku.
Malam itu karena gerimis, terbitlah galau. Bukan hanya jomblo dan mereka yang ditinggal putus oleh sang kekasih yang bisa galau saat rintik hujan menjejak di tanah.

Kami pun para pekerja, budak korporasi juga melahirkan galau tepat saat bulir air membasahi aspal. Galau mau pulang naik apa, taksi atau menunggu reda. Galau mau makan apa, bakso di depan kantor, atau nasi goreng di ujung gang. Galau ingin turun lalu menghisap rokok/vape di dinginnya suhu atau menunda asam mulut sambil bergosip bersama.

Aku? Galau, mau memesan kendaraan online melalui aplikasi smartphone dan menembus hujan dengan Jas Hujan, atau tidur di jalan menunggu macet dan bangun kaget karena tagihan tak sesuai dompet?

Juga mungkin sabar menunggu agar bisa berlari menuju halte (untuk ini bukan karena hujan saja. Memang karena murah, dan tidak berpanas-panasan dan tidak kehujana ).
Seperti tulisan sebelumnya, cerita selalu ada dimana saja, dan diceritakan oleh siapa saja. Tugasnya adalah se-sensitif apa diri, telinga, pikiranmu untuk menemukannya, untuk mendengarkannya?

Kali ini datang dari seorang teknisi networking/jaringan. Itu lho, jika kalian mau memasang internet, atau LAN di kampus, kantor, nah merekalah yang bertugas.
Tapi malam itu bukan petugas lapanganlah yang tak sengaja kutemui. Ia mengaku supervisor dari petugas lapangan yang baru saja (dengan sok tau) aku jelaskan.
Obrolan warung kopi tak hanya lahir dengan segelas kopi & sebatang rokok, dinginnya hujan, sepinya jalanan juga bisa melahirkan obrolan.

“Wah makin gawat aja ya. Kasian anak itu, abis susah juga sih posisinya. Dijepit lebih dari 4 orang”, lelaki berkemeja putih yang sedanv mendekap tas slempang kecil di dadanya mencuri kupingku.

“Saya juga pernah tuh, gak sadar. Ilang udah. Pinter-pinter dan berani-berani mereka sekarang. Harusnya kan ada petugas juga di seluruh halte, jadi bisa langsung ketangkep,” sambut pria di sampingnya. Kacamata tebal yang ia kenakan sedikit basah. Mungkin karena rintik hujan malam itu.

busway-viva-id.jpg
Source: viva.co.id 

Ya, dan terjadilah obrolan itu, pencopet di Transjakarta, bertukar kisah buruk tentang hal yang sama menjadi pemanis malam itu diantara beberapa pengguna transportasi umum ini. Termasuk diriku.

Di dalam bus pun berlanjut, sayang beberapa peserta diskusi turun di beberapa halte berikutnya. Menyisakan aku dan supervisor teknikal networking.

Tips: jika kau membuka obrolan dengan orang lain, selalu tanyakan tentang dirinya. Cerita hidupnya. Karena mungkin hampir 80% (Hanya terkaan) manusia, sangat senang bercerita tentang dirinya.
“Dulu saya susah banget mas buka obrolan kaya tadi. Saya suka takut orang lain gak suka kalau ngobrol sama saya. Tapi karena kesal, saya akhirnya belajar aja gimana caranya”
Karena sering menghadiri berbagai seminar akhirnya dengan otodidak ia memperhatikan bagaimana orang-orang di sana memulai dan membuka obrolan. Karena kita berhenti di halte yang sama, cerewetnya tentang dirinya menemaniku sepanjang jalan. Terlalu banyak mendengar orang lain berbicara dan berbabangga tentang dirinya terkadang juga memunculkan kebosanan.

Sampai akhirnya topik tentang bagaimana dirinya bisa sukses menampar perhatianku.
“Kamu tau apa yang membedakan orang Indonesia dan orang luar? Tau kenapa para ahli di Indonesia masih kurang? Semua mungkin karena kita, orang Indonesia sangat ingin belajar. Sayangnya kita sangat ingin belajar semuanya dalam suatu waktu. Kita jarang memilih sesuatu kemudian kita tekuni dari A-Z”

Tidak seluruhnya salah & benar. Jika fokus pada satu hal (Dalam pendidikan) kita fokus pada satu hal, satu jurusan pada saat kuliah. Bahkan saat S2, jurusan yang sudah fokus tadi pun kembali dikerucutkan menjadi bagian terdalam dalam jurusan tersebut.
Ya semua bebas beropini. Setuju.

Ada yang aneh memang dalam hidup kita. Semuanya. Tak terkecuali.
Sata kita mempercayai sesuatu, kita akan langsung mengkalkulasi apa kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika kita melakukan sesuatu. Semua kemungkinan terburuk kita simpan jadi satu dalam laci di otak kita. Dan saat akan melakukan sesuatu kita akan langsung melirik kepada laci tadi yang berisikan semua kemungkinan terburuk yang sudah kita kurung tadi.

Pada akhirnya kita tidak melangkah sesenti pun. Tidak beranjak kemanapun.

Stuck.

Daripada tidak melangkah, lebih baik melangkah sambil mencari solusi.

Follow me on Instagram & Twitter: @edomurtadha

Leave a comment